Selasa, 11 Februari 2014 0 komentar

Dua Polantas Hentikan Iring-iringan Gubernur NTT


Dua Polantas Hentikan Iring-iringan Gubernur NTT
HUMAS SETDA NTT
Gubernur NTT Frans Lebu Raya menghampiri dan menanyakan kepada anggota Polantas Polres Kupang, alasan menghentikan iringan-iringan kendaraan rombongannya, Kamis (10/1/2013). 



Laporan Wartawan Pos Kupang, Salomo Haba
TRIBUNNEWS.COM, OELAMASI - Dua anggota Satlantas Polres Kupang, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess Nite, menghentikan perjalanan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongannya, usai melakukan kunjungan kerja di wilayah Kabupaten Kupang, Kamis (10/12013).
Penghentian dilakukan saat gubernur melintasi Jalan Timor Raya di Noelbaki, karena kendaraan yang mengawalnya membunyikan sirene.
Gubernur Frans Lebu Raya pun turun dari mobil dinasnya, lalu menghampiri dan menegur dua anggota Satlantas yang sedang bertugas.
Meskipun demikian, rombongan kembali melanjutkan perjalanan ke Kupang, setelah tertahan sekitar 10 menit. Kepada Pos Kupang (Tribunnews.com Network) di Mapolres Kupang, kemarin, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess Nite mengaku menghentikan mobil gubernur dan rombongannya sesuai prosedur. Bahkan, Piet mengaku sempat dimarahi gubernur.
"Pak Gubernur turun dari oto (mobil) dan tanya saya. Kamu tahu tidak saya Gubernur NTT, kenapa kalian tahan? Saya hanya bilang, kami tidak tahan bapak. Kami hentikan kendaraan yang mengawal bapak karena membunyikan sirene, dan itu melanggar aturan. Lalu Pak Gubernur bilang biarkan saya lewat, nanti saya sampaikan ke Kapolda," kata Piet menirukan ucapan gubernur.
Hal senada disampaikan Aipda Mess Nite. Menurutnya, sekitar belasan mobil rombongan gubernur yang dihentikan. Bahkan, ada sebagian dari rombongan yang menendang papan rambu lalu lintas yang bertuliskan pemeriksaan kendaraan. Namun, keduanya mengaku prosedur yang dijalankan saat menghentikan kendaraan merujuk pada aturan lalu lintas, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009.
Wakapolres Kupang Kompol Anthon Ch Nugroho yang ditemui di Mapolres Kupang kemarin menjelaskan, apa yang dilakukan anggotanya di lapangan merujuk pada aturan lalu lintas, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009.
Merujuk pada aturan itu, kata Anthon, dijelaskan bahwa yang memiliki kewenangan untuk membunyikan sirene dan rotator hanya kendaraan-kendaraan tertentu. Namun yang terjadi, saat rombongan Gubernur NTT melintas di wilayah hukum Polres Kupang, tidak ada pengawalan dari anggota Satlantas.
Mobil Pol PP yang mengawal Gubernur NTT juga menerobos, saat anggota melakukan tugas operasi pemeriksaan surat-surat kendaraan di jalan umum.
"Kami tidak tahan Pak Gubernur. Yang kami hentikan mobil yang mengawal rombongan, karena membunyikan sirene. Sesuai dasar hukum, itu bukan kewenangan mereka (Dishub dan Pol PP) untuk membunyikan sirene," jelas Anthon.
Menurutnya, aparat Dishub maupun Pol PP tidak diperbolehkan mengawal, karena yang berhak adalah institusi kepolisian, dalam hal ini Satlantas. Hal semacam ini terjadi, diakuinya, karena protokoler tidak melakukan koordinasi.
"Kami tidak diberitahu. Tidak ada koordinasi. Seandainya  disampikan lebih dulu, pasti kami berikan pelayanan untuk mengamankan rute-rute yang akan dilalui," tambah Anthon.
Mengenai UU Lalu Lintas No 22/2009, lanjut Anthon, terus disosialisasikan kepada masyarakat. Semestinya, instansi seperti Pol PP dan Dishub bisa lebih memahaminya, sehingga hal semacam ini tidak terjadi lagi. Ia mengungkapkan, kejadian seperti ini sudah tiga kali terjadi, yakni pada 2009, 2012, dan 2013. (*)

 
;